Tulisan reflektif ini disusun oleh Arham MSi La Palellung sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap tanah leluhur yang sarat nilai, yaitu Kabupaten Soppeng. Mengupas perjalanan kepemimpinan dari masa pra-modern hingga kini, tulisan ini menjadi ajakan kepada pemimpin hari ini agar tidak lupa akar dan jejak sejarah. Sebab membangun tanpa kesadaran sejarah, ibarat menanam di tanah yang tak dikenali.
Refleksi – Kabupaten Soppeng, bukanlah sekadar satu nama dalam deretan wilayah administratif di Sulawesi Selatan. Ia adalah satu ruang peradaban tua, tanah tua (wanua to riolo) yang menyimpan denyut sejarah panjang dari masa kerajaan, zaman kolonial, hingga era republik. Tanah ini pernah menjadi medan tapak para Arung, para pemuka adat, para panrita, hingga kini menjadi ladang pengabdian bagi pemimpin-pemimpin terpilih lewat proses demokrasi.
Ketika kita berbicara tentang Soppeng hari ini, maka kita tidak bisa memulainya dari Pilkada terakhir atau sekadar agenda pembangunan lima tahunan. Kita harus mundur jauh ke belakang, kepada akar-akar sejarah dan jiwa kebudayaan yang membentuk identitas masyarakat Soppeng sebagai bangsa Bugis yang beradat, beradab, dan berjiwa spiritual tinggi.
Jejak Kepemimpinan dari Zaman Pra-Moderen
Soppeng adalah bekas kerajaan merdeka yang punya sistem sosial, hukum adat, dan tata pemerintahan tersendiri. Tercatat dalam sejarah Lontara bahwa Soppeng dipimpin oleh para Datu, Arung, dan Petta yang tidak hanya bertugas sebagai pengatur negara, tetapi juga sebagai penjaga nilai dan pelindung rakyat.
Sistem ade’, bicara, dan rapang (hukum adat Bugis) dijalankan dengan keseimbangan antara kekuasaan dunia dan tuntunan ruhani. Di sinilah letak keistimewaan warisan Soppeng: kekuasaan yang tidak absolut, karena selalu diikat oleh kebijaksanaan, musyawarah, dan prinsip moralitas yang tinggi. Pemimpin yang zalim bisa diturunkan oleh Ade’, karena kekuasaan tidak dianggap milik pribadi, melainkan titipan rakyat dan leluhur.
Dari Para Datu ke Bupati: Peralihan Zaman, Tantangan Nilai
Peralihan dari sistem kerajaan ke pemerintahan modern tidak serta-merta menghapus karakter kepemimpinan Bugis di Soppeng. Bahkan di era awal republik, banyak tokoh-tokoh lokal yang lahir dari keluarga bangsawan, namun memilih melebur dalam sistem demokrasi, mengedepankan kebijaksanaan daripada gelar, dan tetap menjaga kehormatan tanpa harus memamerkan keturunan.
Jejak ini menjadi pelajaran besar: bahwa kepemimpinan sejati tidak bersumber dari keturunan semata, tapi dari integritas, kearifan, dan kecintaan kepada rakyat. Maka dari itu, setiap pemimpin Soppeng ‘dari dulu hingga kini, memikul tanggung jawab ganda’: membangun wilayah sekaligus menjaga martabat warisan budaya.
Warisan Kepemimpinan Modern: A. Soetomo dan A. Kaswadi Razak
Dalam dua dekade terakhir, Soppeng menyaksikan dua pemimpin yang menorehkan capaian penting: H. A. Soetomo dan H. A. Kaswadi Razak. Keduanya membawa semangat zaman, namun tetap mengakar pada kearifan lokal.
A. Soetomo dikenal sebagai pemimpin yang merintis jalan keterbukaan birokrasi dan penguatan pelayanan publik. Ia membawa nafas kepemimpinan yang tidak mewah, tetapi bersahaja dan dekat dengan masyarakat. Dalam banyak kesempatan, ia menegaskan bahwa pembangunan harus menyentuh desa, karena dari sanalah kehidupan masyarakat bermula.
Sementara A. Kaswadi Razak membawa Soppeng dalam laju pembangunan yang lebih ekspansif. Ia memperkuat sektor pertanian, infrastruktur, dan pelayanan kesehatan. Dengan pendekatan yang lebih manajerial, ia membentuk tata kelola pemerintahan yang terukur. Namun keduanya, meski berbeda gaya, tetap menjaga nilai: tak ada pembangunan yang boleh memutus akar sejarah, tak boleh ada kekuasaan yang mengabaikan suara rakyat.
Harapan Baru di Tangan Suwardi Haseng
Kini, tongkat estafet telah sampai di tangan H. Suwardi Haseng, putra daerah yang telah lama berkiprah di jalur legislatif, dan kini dipercaya rakyat untuk memimpin eksekutif. Ia bukan orang baru dalam dunia politik, namun tantangan di pundaknya kini berbeda: ia harus mengelola harapan yang tinggi, menjaga kepercayaan publik, dan merawat warisan para pendahulunya.
Suwardi tidak boleh memimpin dengan nafsu kemenangan, apalagi dengan semangat rivalitas yang berkepanjangan. Ia harus memimpin dengan sikap seorang panrita, pembelajar, pendengar, dan pemimpin yang membumi. Ia harus menyadari, bahwa jejak sejarah Soppeng tidak boleh diputus; capaian para bupati sebelumnya bukan untuk diabaikan, tetapi untuk dijadikan fondasi melangkah lebih jauh.
Menjaga Adat, Menumbuhkan Peradaban
Di tanah Soppeng, adat bukan sekadar tradisi—ia adalah etika sosial, adalah ruh masyarakat. Di sinilah tantangan besar Suwardi Haseng: jangan sampai pembangunan fisik mengorbankan kearifan budaya. Jangan sampai semangat modernisasi justru mencabut akar kebersamaan, musyawarah, dan penghormatan kepada nilai-nilai lokal.
Jika beliau mampu menjadi pemimpin yang menghargai semua golongan, yang mendengar bukan hanya elite tetapi juga rakyat biasa, yang tak hanya membangun dari APBD tapi juga membangkitkan energi yassisoppengi, maka Soppeng akan terus bertumbuh dalam kemuliaan.
Dan jika dalam setiap keputusannya ia menyempatkan diri bertanya kepada nurani, kepada leluhur dalam diam, kepada suara hati masyarakat yang tak selalu muncul dalam polling, maka ia akan menjadi pemimpin yang tak hanya dihormati karena jabatan, tapi dikenang karena keluhuran.
Menutup dengan Harapan
Soppeng adalah warisan. Bukan hanya untuk lima tahun, tapi untuk generasi. Kepada para pemimpin hari ini, mari kita jaga warisan itu bukan dengan slogan, tetapi dengan laku. Bukan dengan menjatuhkan pendahulu, tetapi dengan menyambung kebaikannya. Sebab dalam tradisi kita, pemimpin sejati bukan yang paling kuat, tapi yang paling mampu menjaga dan merawat: sebagaimana seorang ‘Petta’ menjaga rumah adatnya, bukan hanya karena kuasa, tapi karena cinta.*
Sumber: https://amsilapalellung.com/soppeng-menyambung-jejak-menjaga-akar-menata-masa-depan/